IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG

IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG

Kamis, 03 Februari 2011

EKONOMI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang kaaffah, yang mengatur segala perilaku kehidupan manusia. Bukan hanya menyangkut urusan peribadatan saja, urusan sosial dan ekonomi juga diatur dalam Islam. Oleh karenanya setiap orang muslim, Islam merupakan sistem hidup (way of life) yang harus diimplementasikan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupannya tanpa kecuali.
Sudah cukup lama umat manusia mencari sistem untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya di bidang ekonomi. Selama ini memang sudah ada beberapa sistem, diantaranya dua aliran besar sistem perekonomian yang dikenal di dunia, yaitu sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem ekonomi sosialisme. Tetapi sistem-sistem itu tidak ada yang berhasil penuh dalam menawarkan solusi optimal. Konsekuensinya orang-orang mulai berpikir mencari alternatif. Dan alternatif yang oleh banyak kalangan diyakini lebih menjanjikan adalah sistem ekonomi Islam. Karena sistem ini berpijak pada asas keadilan dan kemanusiaan. Oleh karenanya, sistem ini bersifat universal, tanpa melihat batas-batas etnis, ras, geografis, bahkan agama.










BAB II
PEMBAHASAN
A.  DEFINISI EKONOMI ISLAM 
Barangkali harus diakui pada tahapan tertentu (misalnya saja “bangunan ilmu”), bahwa sistem ekonomi Islam belum semapan sistem ekonomi kapitalisme dalam format dan segala instrumen alat ukurnya. Bahkan dalam tataran definisi pun, terlihat cukup banyak variasi pandangan pakar. Misalnya saja akan kita lihat beberapa diantaranya:
Menurut SM Hasanul Zaman [1984, 52]:
Islamic economics is the knowledge and application of injunction and rules of the Shariah that prevent injustice in the acquisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human beings and enable them to perform their obligations to Allah and the society.     
Menurut M. Abdul Mannan [1986, 18]:
Islamic economics is social science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam.  
Menurut Khurshid Ahmad [1992, 19]:
Islamic economics is a systematic effort to try to understand the economic problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective.
Menurut M. Nejatullah Siddiqi [1992, 69]:
Islamic economics is the Muslim thinkers response to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the Qur’an and the Sunnah well as by reason and experience.   
Menurut Akram Khan [1994, 33]
Islamic economics aims at the study of human falah [well-being] achieved by organizing the resources of the earth on the basis of cooperation and participation.
Menurut Syed Nawab Haidar Naqvi [1994, 13]
Islamic economics is the representative Muslim’s behavior in a typical Muslim society. 
Menurut Abdel-Rahman Yousri Ahmed [dalam Ahmed, (ed), 2002, 27]:
Islamic economics is the science that studies the best possible use of all available economic resources, endowed by Allah, for the production of maximum possible output of halal goods and services that are needed by the community now and in the future and the just distribution of this output within the framework of shariah and its intents.
Berbagai definisi di atas, secara umum menunjukkan dua hal mendasar, yakni: Pertama, bahwasannya sistem ekonomi Islam itu diilhami oleh dan berpijak kepada nilai-nilai keagamaan, dengan penekanan antara lain pada aspek keadilan. Kedua, belum terlihat secara baku format sistem ekonomi Islam, berikut misalnya besaran-besaran kuantitatif sebagai indikator umum dan makro, untuk mengatakan apakah sistem ini sungguh-sungguh sudah mendekati kenyataan yang didambakan, sebagai sistem yang adil, dan mampu menjawab tantangan ekonomi ummat ini.
Bila dicermati pandangan berbagai tokoh pemikir ekonomi Islam, memang cukup banyak lontaran ide disampaikan, misalnya saja oleh M. A. Mannan [1986], M. U. Chapra [1992, 2001], Muhammad Ata Al-Sid [1998], Munawwar Iqbal [1998], Sayyid Tahir [1998], M. F. Khan [1998a, 1998b], M. A. Zarqa [1998] dan banyak lagi yang lain. Namun demikian, berbagai pandangan tadi lebih berpijak kepada pandangan ideal yang belum teruji secara empirik, dan bahkan masih dilandasi oleh asumsi-asumsi yang masih dapat diperdebatkan. Misalnya apa yang dikatakan oleh Chapra [2001, 26].
It is presumed within this [Islamic] paradigm that morally-oriented individual behavior in an appropriate socio-economic and politic environment would help realize socio-economic justice and overall human well-being.
Selain masih banyak hal-hal yang harus dibangun dalam aspek mikro, maka dalam hal mikro pun harus disiapkan berbagai perangkat ukur, yang tentu saja tidak dapat sama dengan pendekatan konvensional atau kapitalisme yang memang sama sekali berbeda paradigmanya. Satu hal yang jelas berdasarkan realitas adalah, sebuah ekonomi selalu mempunyai dua sektor. Menurut Tohirin [2003] misalnya:
Sektor Riil
Sektor ini menghasilkan komoditi-komoditi yang diperlukan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar. Sektor ini bertindak sebagai penyedia komoditi-komoditi tersebut dan selanjutnya melalui pasar komoditi-komoditi itu akan di akses oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sektor ini oleh karenanya merupakan sektor utama dalam perekonomian, sementara sektor yang lain adalah sebagai pendukung sektor riil ini. 
Sektor Keuangan
Dalam menjalankan aktivitasnya sektor riil dibantu oleh sektor keuangan yang berfungsi sebagai pendukung pendanaan, financial support, sehingga diharapkan dukungan dari sektor keuangan ini mampu Mempermudah dan memperlancar proses produksi dalam sektor riil. Keterkaitan antara kedua sektor ini menjadi sangat penting untuk menciptakan perekonomian yang sehat yang tercermin dari lancarnya kegiatan produksi di sektor riil. Pelaku-pelaku di sektor ini cukup beragam, misalnya pasar uang, pasar modal, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank seperti perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, reksadana, lembaga dana pensiun dan sebagainya [2003, 2-3].
Sejauh ini, belum tampak ada teori atau pandangan [menurut perspektif Islam] yang mengatur perimbangan kedua sektor ini, kecuali bahwa secara umum dapat dikatakan, bahwa semestinya sebuah sistem ekonomi harus lebih menyandarkan diri kepada sektor riil sebagai lokomotif gerakannya, sedangkan sektor keuangan, lebih merupakan penopang atau pendukung.
Bila dilihat kembali sejarah kehancuran ekonomi Indonesia yang diawali oleh krisis moneter pada media 1997 yang lalu sampai sekarang masih belum berakhir, diantara kesalahan mendasar yang terjadi adalah ketika kedua sektor ekonomi ini mengalami ketidakseimbangan yang serius. Artinya, sejak sekitar awal 1980-an pemerintah dengan tangan terbuka memberikan peluang jauh lebih besar untuk tidak mengatakan sangat memanjakan [kepada] sektor keuangan, dan cenderung melupakan sektor riil. Walhasil, dengan sistem bunga yang ada, terjadilah apa yang disebut bubble growth, dan sangat rentan terhadap berbagai gangguan.

B. PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dalam beberapa tahun terkahir ini, baik pada tataran teoritis-konseptual (sebagai wacana akademik) maupun pada tataran praktis (khususnya di lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank), sangat pesat. Perkembangan ini tentu saja sangat menggembirakan, karena ini merupakan cerminan dari semakin meningkatnya kesadaran umat Islam dalam menjalankan syariat Islam. Hal ini konsekuensi dari pemahaman bahwa ekonomi Islam bukan hanya sekedar konsepsi. Ia merupakan hasil suatu proses transformasi nilai-nilai Islam yang membentuk kerangka serta perangkat kelembagaan dan pranata ekonomi yang hidup dan berproses dalam kehidupan masyarakat. Adanya konsep pemikiran dan organisasi-organisasi yang dibentuk atas nama sistem ini sudah tentu bisa dinilai sebagai model dan awal pertumbuhannya. Tapi ia masih membutuhkan model-model banyak lagi, agar membentuk kesatuan yang lebih terpadu serta memiliki daya kemampuan untuk menghasilkan atau darinya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan yang dapat diuji dalam penelitian dan praktek.
Kendati perkembangan ekonomi Islam saat ini sangat prospek namun dalam pelaksanaannya masih menemukan berbagai kendala sekaligus tantangan, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran praktis, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pada tataran teoritis misalnya belum terumusnya secara utuh berbagai konsep ekonomi dalam ekonomi Islam. Sedangkan pada tataran praktis belum tersedianya sejumlah institusi dan kelembagaan yang lebih luas dalam pelaksanaan Ekonomi Islam. Adapun dari aspek internal adalah sikap umat Islam sendiri yang belum maksimal dalam menerapkan ekonomi Islam. Sedangkan dari aspek eksternal adalah praktik-praktik kehidupan ekonomi yang sudah terbiasa dengan konsep-konsep ekonomi konvensional.
Kini, ekonomi Islam - dalam berbagai model dan bentuknya - memasuki tahap dimana suatu pendekatan yang lebih kritis dan integratif terhadap keseluruhan teori dan praktiknya sangat penting dilakukan. Sudah waktunya untuk mencari perbaikan yang lebih besar dan mutakhir. Berbagai pihak yang terlibat dengan disiplin ini, dihadapkan pada tugas-tugas yang menantang, yaitu meninjau ulang seluruh situasi, paling tidak pada tiga persoalan berikut. Pertama; membawa bersama usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam suatu pandangan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh, tidak terkonsentrasi pada elemen khusus dari persoalan ekonomi Islam saja. Kedua; meninjau ulang secara kritis berbagai model implementasi ekonomi Islam. Yang bertujuan untuk menguji teori-teori dan mengevaluasi lembaga-lembaga yang tumbuh terhadap kemungkinan kendala-kendala dan hambatan yang muncul. Ketiga; perlu meletakkan keseluruhan teori dan praktek perekonomian Islam dalam perspektif ekonomi dan moral Islam serta tata sosial. Unsur apapun dari sistem Islam, betapun pentingnya, tidak dapat melahirkan hasil yang diinginkan jika operasi dalam kesendirian. Hal ini harus mengarah pada perubahan-perubahan komplementer untuk melengkapi proses. Misalnya penghapusan riba, itu hanyalah salah satu aspek dari program ekonomi Islam. Ia harus diikuti dengan, dan diperkuat melalui perubahan-perubahan struktural dan motivasional lainnya. Sehingga dari upaya-upaya diatas diharapkan sampai pada pengembangan suatu sistem ekonomi Islam yang komprehensif.
Kemunculan kembali sistem ekonomi Islam, baik di tingkat dunia maupun Indonesia seperti yang kita saksikan sejak sekitar tiga atau empat dekade belakangan ini menimbulkan berbagai pandangan dan sikap. Ada yang menentangnya, ada yang skeptis, ada pula yang akomodatif, namun ada pula yang malah menerima dengan tangan terbuka [lihat Arif, 1984, 1985a dan 1985b, misalnya].
Perkembangan gerakan ekonomi Islam di Indonesia kendati relatif terlambat dibanding beberapa negara lain,[4] termasuk dari Jiran dekat kita Malaysia setidaknya sejak awal 1990-an menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Perbandingan perkembangan ekonomi Islam misalnya antara dekade 1980-an dan 2000-an sangat jauh berbeda, baik dalam tataran praktis, apalagi dalam tataran wacana. Ini tentu sangat patut di syukuri, betapapun perkembangan tersebut masih terus berlanjut dan hujan kritik terus mengucur dari banyak pihak dengan berbagai ragam pandangan dan latar belakangnya itu.
Dalam tataran wacana misalnya, istilah ekonomi Islam atau ekonomi syariah sudah sangat merata, hampir setiap orang pernah mengatakannya. Berbagai seminar, konferensi, workshop, dan simposium tentang ekonomi Islam sangat sering dilakukan dan dihadiri banyak peminat, baik di tingkat lokal, nasional, regional bahkan dunia. Kalau dulu rasanya sulit mencari sumber bacaan yang membahas persoalan ekonomi dari kacamata Islam, maka dewasa ini sangat banyak makalah, publikasi dalam bentuk jurnal bahkan buku teks yang membahas ekonomi Islam. tidak kurang bahkan beberapa media, baik dalam bentuk surat kabar, tabloid atau bahkan majalah yang sangat secara berkelanjutan mengangkat isu yang terkait dengan ekonomi Islam atau syariah. Perkembangan yang sama juga terjadi dalam dunia maya. Cukup banyak situs yang secara kontinyu dan sistematis menawarkan wacana ekonomi Islam.
Dalam tataran praktis, juga terlihat geliat yang sangat menggembirakan ketika bank atau lembaga keuangan Islam lahir, tumbuh dan bertambah hari demi hari, pekan demi pekan dan bulan demi bulan. Ketertarikan dan keterlibatan terhadap lembaga perbankan dan keuangan Islam tidak hanya ditunjukkan oleh lembaga swasta mikro sekelas koperasi tingkat desa, tetapi justru melibatkan otoritas moneter tertinggi di negeri ini, yakni Bank Sentral atau Bank Indonesia. Di lembaga yang disebut terakhir ini, sudah sejak beberapa tahun belakangan ini posisi unit yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perbankan syariah ditempatkan di tingkat biro, dan bukan tidak mungkin seperti harapan banyak pihak.
Selain itu, tumbuh dengan subur di seantero negeri berbagai kursus, sekolah atau bahkan perguruan tinggi yang membuka secara khusus pengajaran sistem ekonomi Islam ini, belum lagi puluhan atau mungkin mencapai ratusan lembaga studi atau penelitian yang mengkhususkan diri dalam pengkajian dan diseminasi ilmu ekonomi syariah atau yang terkait dengan itu.
Dalam tataran praktis, juga terlihat geliat yang sangat menggembirakan ketika bank atau lembaga keuangan Islam lahir, tumbuh dan bertambah hari demi hari, pekan demi pekan dan bulan demi bulan. Ketertarikan dan keterlibatan terhadap lembaga perbankan dan keuangan Islam tidak hanya ditunjukkan oleh lembaga swasta mikro sekelas koperasi tingkat desa, tetapi justru melibatkan otoritas moneter tertinggi di negeri ini, yakni Bank Sentral atau Bank Indonesia. Di lembaga yang disebut terakhir ini, sudah sejak beberapa tahun belakangan ini posisi unit yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perbankan syariah ditempatkan di tingkat biro, dan bukan tidak mungkin seperti harapan banyak pihak, mestinya bahwa nanti dalam perkembangan lebih jauh, posisi ini naik ke tingkat direktorat.
Dibalik perkembangan gerakan ekonomi Islam yang sedang terjadi dewasa ini, dan terasa menggembirakan ummat pada umumnya, patut diangkat sebuah pertanyaan kritis dan mendasar, yakni apakah orientasi perkembangan ini sudah pada jalur yang diharapkan?
Sebuah evaluasi terhadap perkembangan gerakan ekonomi Islam di Indonesia sangat penting, hal ini dikarenakan beberapa hal.
Pertama, walaupun sistem ekonomi Islam bukanlah hal baru secara konseptual, tetapi implementasinya di negeri ini secara empirik baru terjadi kali ini. Oleh karenanya sejarah akan mencatat dengan seksama pergerakannya, dan tentu banyak yang menunggu kesuksesannya. Berdasarkan hal inilah perlu sikap hati-hati semua pihak, agar tidak terjadi salah orientasi yang berujung pada kegagalan dan kekecewaan yang mendalam. Perlu dicatat bahwa kesempatan emas untuk dapat mengimplementasikan sistem ini, sudah lama diperjuangkan oleh banyak pihak, dan ummat Islam pada umumnya, namun kenyataan menunjukkan baru sekaranglah peluang itu diperoleh. Oleh karena itu pula, bila kesempatan baik dan langka ini gagal dimanfaatkan untuk membuktikan keunggulan sistem ini dalam menjawab persoalan ummat, maka akibatnya akan panjang dan mendalam.
Kedua, berbeda dengan sistem sosialisme dan kapitalisme, sistem ini bersentuhan langsung dengan nilai-nilai keyakinan dalam arti mendalam dan luas. Dalam bahasa lain, sesuai dengan namanya, sistem ekonomi Islam di yakini sebagai derivasi nilai-nilai ilahiyyah, yang berkaitan langsung dengan masalah ubudiyyah bahkan ketauhidan. Kegagalan dalam menunjukkan kelebihan atau keunggulan sistem ini dibandingkan sistem lain [baik kapitalisme ataupun sosialisme] yang mungkin dapat dikatakan sebagai human-made atau human-engineered system, dapat berakibat serius dalam aspek dakwah Islam secara lebih luas. Ini akan menjadi dosa sejarah sepanjang masa bagi kita semua, setidaknya bagi mereka yang meyakini dan memperjuangkannya.
Untuk melakukan evaluasi terhadap gerakan ekonomi Islam di Indonesia, dilakukan pendekatan berikut ini. Pertama, akan didiskusikan secara singkat sistem ekonomi Islam, baik definisi, esensi, dan mungkin formatnya. Kedua, akan dilakukan tinjauan atas perkembangan empiris gerakan ekonomi tersebut, sedikitnya bersandar kepada data resmi yang dapat dilacak dan dikumpulkan.

C.  RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM
1. Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Para ulama berbeda dalam pengelompokan ajaran Islam. Secara umum ulama mengklasifikasikan ajaran Islam menjadi tiga bagian, yakni: (1) akidah, (2) syariah, (3) akhlak-tasawuf. Pengelompokan lain adalah (1) ilmu kalam, (2) Ilmu akhlak, (3) ilmu fikih. Sementara syariah jika diidentikan dengan fikih (hukum Islam), maka klasifikasi hukum Islam (fikih) juga berbeda para ulama dalam mengelompokkannya. Antara lain misalnya, fikih meliputi; (1) ibadah, (2) muamalat, (3) ‘uqubah. Sementara Muhammad Ahmad al Zarqa ulama kontemporer, membagi fikih menjadi dua bagian:           (1) ibadah, yaitu aturan Tuhan dengan hambaNya; dan (2) muamalat, yakni hukum yang mengatur hubungan sosial, baik secara perseorangan maupun kolektif.
Dari keterangan di atas, maka wilayah kajian ekonomi Islam terdapat dalam fikih Muamalat, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain yang berkenaan dengan harta (al-amwal), hak, dan pengelolaan harta (al-tasharruf) dengan cara transaksi (akad) dan lainnya. Secara ringkas ekonomi Islam meliputi: (1) benda dan kepemilikan, (2) persoalan hak dan hal-hal yang berhubungan dengannya, (3) perikatan atau akad yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.

E. LEMBGA KEUANGAN SYARIAH (PERBANKAN) DI INDONESIA
Bidang dimana mengalami perhatian yang cukup besar baik pada tataran teoritis maupun empiris saat ini adalah uang, perbankan, dan kebijakan moneter. Bagian ini pula menarik perhatian ulama yang berkaitan dengan makna dan signifikansi riba, mengapa dilarang, bagaimana dapat dihapus dari ekonomi, apa upaya untuk penghapusannya, dan bagaimana uang akan dikelola dalam sebuah perekonomian Islam setelah penghapusan riba tersebut. Persoalan-persoalan ini sudah coba dijawab dan dilahirkan beberapa solusi alternatifnya, misalnya dengan kemunculan lembaga keuangan syariah khususnya dunia perbankan.            Eksperimen pendirian bank Syariah pertama kali di era modern ini yaitu dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank pada tahun 1963 di Mesir. Kemunculan bank syariah ini tergolong inovatif dan sukses. Dan kesuksesan ini juga memberikan inspirasi bagi umat Islam di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan bisnis modern. Dan ini terbukti pada tahun 1975 terbentuklah Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi. Dan era ini juga yaitu tahun 70-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam meluas ke banyak negara. Kini perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, tidak hanya di Asia bahkan sudah meluas ke negara-negara Barat.
 Untuk pengalaman di Indonesia, beberapa tahun belakangan ini, lembaga-lembaga ekonomi yang berbasiskan syariah semakin marak di panggung perekonomian nasional. Mereka lahir menyusul krisis berkepanjangan sebagai buah kegagalan sistem moneter kapitalis di Indonesia. Sejak berdirinya Bank Muamalat sebagai pelopor bank yang menggunakan sistem syariah pada tahun 1992, kini banyak bermunculan bank-bank syariah, baik yang murni menggunakan sistem tersebut maupun baru pada tahap membuka unit usaha syariah (UUS) atau divisi usaha syariah.
Sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara formal dimulai dengan Lokakarya MUI mengenai perbankan pada tahun 1990, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya UU No 7/ 1992 tentang perbankan yang mengakomodasi kegiatan bank dengan prinsip bagi hasil. Pendirian Bank Muamalat Indonesia yang menggunakan pola bagi hasil pada tahun 1992 menandakan dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia. Selama periode 1992-1998 hanya terdapat satu bank umum syariah dan beberapa bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) sebagai pelaku industri perbankan syariah. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No 10/1998 sebagai amandemen dari UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Selanjutnya, pada tahun 1999 dikeluarkan UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk dapat pula mengakomodasi prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Kedua UU ini mengawali era baru dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang
 Krisis ekonomi yang terjadi sejak akhir tahun 1997 menunjukkan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah relatif dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang: bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar), dan spekulatif (maysir).
Dari keterangan di atas, cukup menggembirakan dari aspek pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia saat ini, baik dari segi volume usaha atau asset, peningkatan dana pihak ketiga dan penyaluran dana ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan dari tahun ke tahun, maupun semakin banyaknya bermunculan bank-bank konvensional yang membuka unit usaha syariah. Namun sebagaimana yang telah penulis paparkan pada bagian awal tulisan ini, bahwa perlu melakukan evaluasi dan strategi pengembangan perbankan syariah di Indonesia ke depan.
Pada tahap awal, landasan hukum bagi perbankan syariah adalah UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan yang menggunakan prinsip bagi hasil. Sejak tahun 1992-1998 tidak banyak kemajuan dalam pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia, karena :
- rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai bank syariah
- belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank syariah
- tebatasnya jaringan kantor perbankan syariah
- kurangnya sumber daya manusia (SDM) khususnya keahlian dalam bidang perbankan syariah (ekonomi Islam).

Keberadaan bank syariah secara jelas dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat terhdadap pengembangan bank syariah adalah dengan lahirnya UU No. 10 tahun 1998 amandemen UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Namun disadari bahwa Undang-undang tersebut di atas yang mengatur tentang perbankan syariah hanya dalam beberapa pasal, belumlah cukup untuk pengembangan syariah lebih kuat dan luas di masa-masa yang akan datang, karena masih terdapat problematika perbankan syariah baik dari aspek kelembagaan maupun dari segi operasional.
Oleh karena itu, ke depan harus dilakukan langkah-langkah atau strategi pengembangan perbankan syariah, antara lain:
- Penyusunan ketentuan-ketentuan perbankan Syariah
- Mendorong terbentuknya Forum Komuniasi Syariah
- Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
- Penelitian preferensi dan perilaku konsumer terhadap bank Syariah
- Mempersiapkan teknologi informasi yang handal
- Mempersiapkan lembaga penjamin pembiayaan Syariah
- Mendorong terbentuknya Islamic Trade Center
- Memberdayakan pengawasan aspek Syariah

F. TANTANGAN YANG DIHADAPI
Saat krisis ekonomi di Indonesia berdampak pada goncangnya lembaga perbankan yang berakhir pada likuidasi sejumlah bank, bank islam malah semakin berkembang, dan sejak tahun 1998, sistem perbankan islam sebagai lokomotif gerakan ekonomi islam di Indonesia, mencapai kemajuan yang pesat.
Ekonomi syariah diharapkan mampu memberikan kontribusi besar dan nyata bagi pembangunan ekonomi bangsa yang sekian lama terpuruk dalam krisis ekonomi. Seiring berjalannya waktu, perkembangan perbankan syariah telah memasuki babak baru yang semakin berkembang dari yang hanya sekedar alternatif praktek perbankan syariah menjadi bagaimana bank syariah menempatkan posisinya sebagai pemain utama dalam persaingan ekonomi di Indonesia. Perbankan syariah memiliki potensi besar untuk menjadi pilihan utama bagi masyarakat dalam pilihan transaksi mereka.
Namun demikian, meskipun perbankan syariah mengalami perkembangan yang pesat, sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat, ekonomi islam masih harus menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang besar, agar dapat mempertahankan pertumbuhan yang tinggi tersebut secara lebih berkesinambungan. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dengan bijak.
Pertama, SDM. Dengan semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap ekonomi islam dimasa depan, maka semakin menuntut penambahan SDM berkualitas dalam jumlah yang memadai karena masih minimnya pakar ekonomi islam berkualitas yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu syariah secara integratif.
Kedua, permodalan. Perbankan syariah akan membutuhkan suntikan modal yang cukup besar agar tetap dapat beroperasi dengan baik. Jika tidak dilakukan penguatan modal, pada waktunya nanti permasalahan permodalan ini dapat menghambat laju pertumbuhan perbankan syariah.
Ketiga, aspek regulasi termasuk perangkat peraturan, hukum dan kebijakan yang masih belum memadai. Pengembangan perbankan syariah tidak terlepas dari aspek regulasi. Jika ketentuan perundang-undangan tidak kondusif bisa menghambat pertumbuhan perbankan syariah, karena itu dukungan dari aspek hukum sangat dibutuhkan.
Keempat, peran pemerintah masih belum optimal terhadap pengembangan ekonomi syariah, Serta masih terbatasnya perguruan tinggi yangmengajarkan ekonomi islam dan masih minimnya lembaga training dan consulting dalam bidang ini, sehingga masyarakat dibiarkan kurang paham tentang perbankan syariah. Padahal jika dilakukan edukasi secara intensif, kemungkinan akan terjadi ledakan hebat dalam pertumbuhan asset perbankan syariah.
Kelima, inovasi produk. Keberhasilan ekonomi islam dimasa depan banyak tergantung kepada kemampuan perbankan syariah dalam menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, dan berdasarkan kebutuhan masyarakat, tapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Perkembangan yang pesat dibidang keuangan syariah membuka peluang bagi Indonesia untuk ikut lebih aktif didalamnya. Pengalaman dimasa krisis menunjukkan bahwa lembaga keuangan syariah terbukti mampu bertahan dari berbagai guncangan dan relatif tidak membutuhkan banyak bantuan pemerintah. Ini berarti bahwa upaya pengembangan lembaga keuangan syariah juga ikut membantu ketahanan perekonomian nasional. Untuk itu, perlu dibuat kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan lembaga keuangan syariah.














BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Dari deskripsi tulisan di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1.        Bahwa minat dan ghirah masyarakat untuk mempelajari dan menjalankan ekonomi Islam di dalam kehidupan kesehariannya saat ini sangat luar biasa. Antara lain misalnya melalui berbagai seminar, diskusi, sarasehan, dan forum-forum ilmiah baik secara regional, nasional maupun internasional telah dilakukan. Dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam telah juga menyelenggarakan pengajaran ekonomi Islam. Hal ini memperlihatkan bahwa upaya pencarian teori dan sistem ekonomi Islam terus dilakukan secara konsisten. Di samping itu juga merupakan konsekuensi dari semakin pesatnya tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga ekonomi Islam/Syariah, yang menandai bahwa konsep ekonomi Islam sudah luas dan dapat diterima dalam masyarakat.
2.        Berdasarkan realitas sebuah ekonomi termasuk ekonomi Islam harus memiliki dua sektor, yaitu sektor riil dan sektor keuangan. Sector riil sebagai lokomotif penggerak dan sector keuangan sebagai penopang atau pendukung. Agar berjalan lancar kedua sektor ini harus berjalan dengan lancar dan seimbang.
3.        Dari keterangan yang pertama menunjukkan bahwa ekonomi Islam sangat prospek tidak hanya untuk saat ini tetapi untuk jangka panjang, namun ini sekaligus merupakan tantangan bagi umat Islam untuk terus-menerus melakukan kajian, evaluasi dan mencari solusi terhadap teori, konsep dan implementasi ekonomi Islam dalam berbagai model dan bentuknya. Antara lain upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah:
a.     Upaya perbaikan dan pengembangan lembaga keuangan Syariah khususnya perbankan syariah harus diarahkan kepada optimalisasi mutu, (1) perbaikan kelengkapan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum utama dan kuat dalam membantu mendukung pengembangan perbankan syariah. (2) perbaikan pada body of science ilmu ekonomi Islam yang mencakup lembaga keuangan Islam, manajemen Islam, maupun Akuntansi Islam dan perbaikan mutu manajemen institusi.
b.    Upaya perbaikan sumber daya manusia (Quality of human resources). Dalam hal ini peran lembaga-lembaga terkait, khususnya perguruan tinggi agama Islam, misalnya UIN, IAIN, STEI, UII, STAIN, STIS, perguruan tinggi Islam lainnya, baik negeri maupun swasta untuk mengembangkan ekonomi Islam beserta kurikulumnya tidak bisa ditawar lagi.
B. PENUTUP  
Kajian di atas sudah mencoba melakukan sebuah proses evaluasi umum terhadap gerakan ekonomi Islam di Indonesia. Tampak gejala bahwa telah terjadi orientasi yang kurang tepat, manakala penekanan gerakan ekonomi Islam hanya berfokus pada aspek keuangan saja, baik pada skala mikro maupun makro, sektor riil, tampak masih tertinggal jauh.
Penalaran umum, bahkan sejarah membuktikan betapa ketimpangan kedua sektor ini (riil dan keuangan) berpotensi besar mengacaubalaukan perekonomian bangsa. Oleh karena itulah, perlu segera dilakukan langkah-langkah menuju orientasi yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak mungkin menunjuk satu atau beberapa pihak saja dalam melakukan langkah perbaikan. Semua pihak sesuai dengan peran masing-masing tentu dapat melakukan aksi, kendati diperlukan koordinasi yang baik dengan semua pihak yang terkait, baik lembaga resmi seperti bank sentral, masyarakat ekonomi syariah, bankir syariah, para akademisi dan ulama, serta masyarakat Muslim pada umumnya.

DINASTI UMAYYAH DAN ABBASIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Sejarah tak ubahnya kacamata masa lalu yang menjadi pijakan dan langkah setiap insan di masa mendatang. Hal ini berlaku pula bagi kita para mahasiswa IAIN Raden Intan Bandar Lampung untuk tidak hanya sekedar paham sains tapi juga paham akan sejarah peradaban islam di masa lalu untuk menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi. Seperti yang kita ketahui setelah tumbangnya kepemimpinan masa khulafaurrasyidin maka berganti pula sistem pemerintahan Islam pada masa itu menjadi masa daulah, dan dalam makalah ini akan disajikan sedikit tentang masa daulah Umayyah dan Abbasiyah.

B.     Rumusan masalah
1.  Bagaimana kemunculan daulah Umayyah dan Abbasiyah?
2.  Bagaimana sistem pemerintahan daulah Umayyah dan Abbasiyah?
3.  Siapakah yang menjadi khlifah pada masa daulah Umayyah dan Abbasiyah?
4.  Bagaimana perkembangan peradaban daulah Umayyah dan Abbasiyah?
5.  Bagaimana perkembangan Ilmu pengetahuan daulah Umayyah dan abbasiyah?
6.  Bagaimana zaman keemasan daulah Abbasiyah?
4.  Bagaimana runtuhnya daulah Umayyah dan Abbasiyah?

                                                                         







BAB II
PEMBAHASAN
Dinasti Umayyah
A. Berdirinya dinasti umayyah
Pendiri Dinasti Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Penisbatan dinasti kepada Umayyah karena Umayyah ialah seorang tokoh terkemuka yang berpengaruh besar di kalangan bangsa Quraisy, nenek moyang Muawiyyah.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, Muawiyyah diangkat menjadi gubernur Syam (Syria), yang berkedudukan di Damaskus. Tabiat pribadinya penyabar dan penyantun, dia juga diplomat yang ulung.
Setelah Khalifah Usman wajat dan digantikan oleh Ali bin Thalib, Muawiyyah tampil sebagai penantang Khalifah Ali. Dalam pertentangan tersebut keduanya terlibat dapam perang Shiffin, yang menimbulkan perpecahan semakin parah di kalangan kaum muslimin pada waktu itu. Ada yang memihak Muawiyyah, ada yang memihak Khalifah Ali, dan ada juga yang memisahkan diri (Khawarij)
Setelah Khalifah Ali wajat, Muawiyyah menjadi Khalifat. Dengan demikian, berakhirlah masa pemerintahan khulafaur rasyiddin dan diganti oleh Dinasti Umayyah yang beribu kota Damaskus.
Daulat Bani Umayyah yang berdiri sejak tahun 660 Masehi sampai dengan tahun 750 Masehi (lebih kurang 90 tahun) yang dipimpin 14 orang Khalifat dan 5 orang diantaranya merupakan Khalifah yang memiliki kelebihan tersendiri.
Dalama kepemimpinannya setiap Khalifah akan bertindak sesuai dnegan watak yang dimilikinya serta tuntutan yang dibutuhkannya pada saat. Ketika terjadinya kekacauan-kekacauan sebelum berdirinya Daulat Bani Umayyah, yaitu kekacauan yang berlangsung pada tahun terakhri dari pemerintahan Khalifah Usman bin Affan dan jugaa pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam pada saat itu hanya bersifat de facto dan belum didukung oleh yuridis formal, artinya wilayah Islam tersebut hanya bersifat fakta geografis dan belum adanya keterkaitan hukum atau perundang-undangan dengan pusat pemerintahan Islam juga belum adanya pengakuan kedaulantan secara resmi dari negara-negara yang berbatasan. Dengan demikian wilayah islam tersebut, keadaanya menjadi labil misalnya : Wilayah Islam itu sering diserang oleh negara-negara non Islam yang letaknya berbatasan.
Masa Pemerintahan Bani Umayyah yang terkenal sebagai suatu masa yang perhatiannya tertumpu kepada kebesaran kerajaan, yang berarti semangata dan keinginan untuk memiliki kekuasaan yang Umayyah melakukan langkah sebagai berikut :
1. Memantapkana dan memperhatikan wilayah kekuasaan Islam yang diwarnai oleh Khurafaur Rasyiddin.
2. Memperluas kekuasaan Islam yang diarahkan berbagai wilayah, yaitu :
a. Wilayah Asia Kecil yang masih dikuasai Romawi Timur.
b. Wilayah Afganistan-India dan perbatasan Bangkok.
c. Wilayah Pantai Utara Afrika, meliputi Aljazair dan Maroko
d. Wilayah Eropa Barat yaitu semenanjung Andalusia (Spanyol)

B. Sistem pemerintahan
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah khalifah pertama Dinasti Umayyah. Ia memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Damaskus. Selain itu, ia juga mengganti sistem pemerintahan. Menurut Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang berjudul As-Syiyasah As-Syariyah fi Islah Ar-Raiyah, sistem pemerintahan Islam yang pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarki here-detis (kerajaan turun-menurun).
Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.Perintah Muawiyah ini merupakan bentuk pengukuhan terhadap sistem pemerintahan yang turun-temurun yang dibangun Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah mengubah model kekuasaan dengan model kerajaan, kepemimpinan diberikan kepada putra mahkota.
Dalam bukunya yang berjudul Dinasti Bani Umayyah Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan Kejatuhan Dinasti, Mohammad Suhaidi memaparkan, dengan berlakunya sistem (monarki) tersebut, orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk naik sebagai pemimpin pemerintahan umat Islam. Karena, sistem dinasti hanya memberlakukan kekhalifahan dipimpin oleh keturunannya.
Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa ar-Rasyidun. Hingga masa Ali, pemimpin negara berlaku sebagai seorang biasa tinggal di rumah sederhana, menjadi imam masjid, dan memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebanyakan orang Muslim lainnya.Namun, pada masa Dinasti Umayyah, yang mengadopsi tradisi sistem kerajaan pra-lslam di Timur Tengah, mereka menjaga jarak dengan masyarakat karena tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Mereka juga hidup dengan bergelimang kemewahan dan memiliki kekuasaan mutlak.

C. Kekhalifahan Dinasti Umayyah
Setelah kekhalifahan khulafaurrasyidin selesai , khalifah berpindah ke tangan Bani Umayyah yang berlangsung lebih dari 89 tahun. Khalifah pertama adalah Mu'awiyyah. Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam. Masa kekuasaan mereka sebagai berikut:
1. Mu'awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
2.Yazid bin Mu'awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
3.Mu'awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M)
4.Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
5.'Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M)
6.Walid bin 'Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
7.Sulaiman bin 'Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
8.'Umar bin 'Abdul 'Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
9.Yazid bin 'Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)
10.Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
11.Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
12.Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
13.Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
14.Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)
Masa kepemimpinan Bani Umayyah berakhir pada tahun 132 H. Ini terjadi setelah Marwan bin Muhammad mengalami kekalahan dalam Perang Zab, melawan pasukan yang dipimpin Abu Abbas as-Saffah dari Bani Abbasiyah. Sejak saat itu kekhilafahan beralih ke Bani Abbasiyah
D. Perkembangan peradaban
Pada masa awal pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan ada usaha memperluas wilayah kekuasaan ke berbagai daerah, seperti ke India dengan mengutus Muhallab bin Abu         Sufrah, dan usaha perluasan ke Barat ke daerah Byzantium di bawah pimpinan Yazid bin Muawiyah. Selain itu juga diadakan perluasan wilayah ke Afrika Utara. Juga mengerahkan kekuatannya untuk merebut pusat-pusat kekuasaan di luar jazirah Arab, antara              kota Konstantinopel.

E. Perkembangan ilmu pengetahuan
Mekipun para penguasa Bani Umayyah lebih mengutamakan usaha pengembangan wilayah kekuasaan dan kekuatan militer, ternyata terdapat usaha positif yang dilakukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Salah satu usaha pengembangan itu adalah dengan memberikan dorongan dan dana yang cukup agar para ilmuan dapat mengembangkan keilmuannya.
Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang ketika itu adalah:
1.      Ilmu-ilmu agama, seperti ilmu Al Qur’an, ilmu hadits, ilmu fiqh. Ilmu Al qur’an telah mengalami perkembangan lebih awal dari ilmu hadits. Sebab proses pembukuan hadits berlangsung pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). sedangkan hadits berkembang pada masa sesudahnya.
2.      Ilmu Sejarah dan Geografi. Salah seorang sejarawan yang telah berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya dan masa Bani Umayyah adalah Ubaid bin Syaryah Al-Jurhumi berhasil menulis buku kitab muluk wa akhbar Al-Mahdi dan Shuhara Abdy berhasil menulis buku Kitab Al-Amsal.
3.      Ilmu kedokteran. Ilmu ini belum mengalami kemajuan yang berarti pada masa Umayyah. Tetapi pada masa Al-walid bin Abdul Malik adanya perkembangan ilmu kedokteran karena Ia telah mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran.
 F. Sebab-sebab runtuhnya dinasti Umayyah
Adapun sebab – sebab utama terjadinya keruntuhan dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut :
1.      Terjadinya persaingan kekuasaana di dalam anggota keluarga Bani Umayyah
2.      Tidak ada pemimpin politik dan militer yang handal yang mampu mengendalikan kekuasaan dan menjaga keutuhan negara.
3.      Munculnya berbagai gerakan perlawanan yang menentang kekuasaan Bani Umayyah, antara lain gerakan kelompok Syi’ah.
4.      Serangan pasukan Abu Musim al-Khurasani dan pasukan Abul Abbas ke pusat-pusat pemerintahan dan menghancurkannya.

Dinasti Abbasiyah
A.    Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam, termasuk salah satunya pengucilan yang dilakukan Bani Umaiyah terhadap kaum mawali yang menyebabkan ketidak puasan dalam diri mereka dan akhirnya terjadi banyak           kerusuhan
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah. Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalanbebas.
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.

B.     Sistem pemerintahan
Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang sekaligus dianggap sebagai pendiri Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan Al-Saffah yang berarti Sang Penumpah Darah. Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik.
Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam masalah sosial ddan pilitik diskriminas. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memakai gelar ”Imam”, pemimpin masyarakat muslim bertujuan untuk menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja.
Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.
Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu:
1.      Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil dari kaum mawalli.
2.      Kota Bagdad dijadikan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa dan penganut agama lain.
3.      Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan.
4.      Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia.

C.    Kekhalifahan Bani Abbasiyah
Masa kepemimpinan Bani Abbasiyah berlangsung selama kurang lebih 783 tahun. Khalifah pertamanya adalah Abu Abbas as-Saffah dan yang terakhir adalah al-Mutawakkil ‘Alallah. Masa kepemimpinan Bani Abbasiyah dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Kekhilafahan Abbasiyah yang berpusat di Irak dan yang berpusat di Mesir.
Para Khalifah masa Abbasiyah yang berpusat di Irak
I. Dari Bani 'Abbas
1. Abul 'Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
2. Abu Ja'far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
3. Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
4. Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
5. Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
6. Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
7. Al-Ma'mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
8. Al-Mu'tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)
9. Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
10. Al-Mutawakil 'Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
11. Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
12. Al-Musta'in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
13. Al-Mu'taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
14. Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
15. Al-Mu'tamad 'Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
16. Al-Mu'tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
17. Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
18. Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)

II. Dari Bani Buwaih
19. Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
20. Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
21. Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
22. Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
23. Al-Muthi' Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
24. Al-Thai'i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
25. Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
26. Al-Qa'im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)

III. dari Bani Saljuk
27.  Al Mu'tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
28.  Al Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
29.  Al Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
30.  Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
31.  Al Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)
32.  Al Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
33.  Al Mustadhi'u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
34.  An Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
35.  Adh Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
36.  Al Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
37.  Al Mu'tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)

Memasuki tahun 659 H, Dunia Islam belum juga memiliki seorang khalifah. Akhirnya, didirikanlah kekhilafahan di Mesir. Al-Muntanshir-lah yang diangkat sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah di Mesir. Dia adalah seorang keturunan Bani Abbasiyah, yang berhasil lolos dari pembantaian tentara Tartar, dan berhasil menyelamatkan diri ke Mesir. Sejak saat itu, pusat kekuasaan Islam berpindah ke Kairo. Pembaiatan al-Muntanshir sebagai khalifah berlangsung pada tanggal 1 Rajab 659 H.
Para Khalifah masa Abbasiyah yang berpusat di Mesir
1.  Al Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)
2.  Al Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
3.  Al Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
4.  Al Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M)
5.  Al Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
6.  al Mu'tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)
7.  Al Mutawakkil 'Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
8.  Al Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)
9.  Al Mu'tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
10.  Al Mutawakkil 'Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
11.  Al Musta'in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
12.  Al Mu'tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
13.  Al Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
14.  Al Qa'im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
15.  Al Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
16.  Al Mutawakkil 'Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
17.  Al Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
18.  Al Mutawakkil 'Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)

D.    Perkembangan peradaban
Dinasti Abbasiyah di samping bercorak Arab murni, juga terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban. Hal ini diawali Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi (158 – 169 H / 775 – 785 M), dinasti Abbasiyah memperluas kekuasaan dan pengaruh Islam ke wilayah Timur Asia Tengah, dari perbatasan India hingga ke China. Saat itu umat Islam berhasil memasuki selat Bosporus, sehingga membuat Ratu Irene menyerah dan berjanji membayar upeti. Pada masa dinasti ini pula wilayah kekuasaan Islam sangat luas yang meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijjaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Iran (Persia), Irak, Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afghanistan, dan Pakistan. Juga mengalami perluasan ke daerah Turki, wilayah-wilayah Armenia dan daerah sekitar Laut Kaspia, yang sekarang termasuk wilayah Rusia. Wilayah bagian Barat India dan Asia Tengah, serta wilayah perbatasan China sebelah Barat.

E.     Perkembangan ilmu pengetahuan
Adapun kemajuan dan perkembangan di bidang keilmuan adalah sebagai berikut :
1.      Lembaga dan kegiatan ilmu pengetahuan
Sebelum dinasti Bani Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan center of education. Pada dinasti Bani Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan, yaitu :
a.       Maktab/kuttab dan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak remaja belajar dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama.
b.      Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam Islam pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid, bahkan ke rumah gurunya. Pada tahap berikutnya, mulailah dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa dinasti Bani Abbasiyah.
2.      Corak keilmuan
Gerakan keilmuan pada dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik, kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedang astronomi, mantiq dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
3.      Ilmu pengetahuan sains dan teknologi
a.       Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind, kemudian diterjemahkan Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi (77 M). Di samping itu, masih ada ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, Umar al-Khayyam dan al-Tusi.
b.      Kedokteran, dokter pertama yang terkenal adalah Ali ibn Rabban al-Tabari. Tokoh lainnya al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.
c.       Kimia, tokohnya adalah Jabir ibn Hayyan (721-815 M). Tokoh lainnya al-Razi, al-Tuqrai yang hidup di abad ke-12 M.
d.      Sejarah dan geografi, tokohnya Ahmad ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Ja’far bin Jarir al-Tabari. Kemudian ahli ilmu bumi yang terkenal adalah Ibnu Khurdazabah (820-913 M).

F.     Zaman keemasan
Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132-565 H (750-1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi tiga periode, yaitu:
1.      Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M). Kekuasaan pada periode ini berada di tangan para khalifah.
2.      Periode kedua (232 H/847 M – 590 H/1194 M). Pada periode ini kekuasaan hilang dari tangan para khalifah berpindah kepada kaum Turki (232-234 H), golongan Bani Buwaim (334-447 H), dan golongan Bani Saljuq (447-590 H).
3.      Periode ketiga (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada periode ini kekuasaan berada kembali di tangan para khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasannya dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
1. Al-Mahdi (775-785 M)
2. Al-Hadi (775-786 M)
3. Harun al-Rasyid (785-809 M)
4. Al-Ma’mun (813-833 M)
5. Al-Mu’tashim (833-842 M)
6. Al-Wasiq (842-847 M)
7. Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Popularitas Daulah Bani Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun. Ketika mendirikan sebuah akademi pertama di lengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan.
G.    Sebab-sebab runtuhnya Dinasti Abbasiyah
1.      Faktor-faktor intern:
  1. Adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah terutama Arab, Persia, dan Turki
  2. Terjadinya perselisihan pendapat diantara kelompok pemikir agama yang ada berkembang menjadi pertumpahan darah
  3. Munculnya Dinasti-Dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan.
  4. Terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik
2.      Faktor-faktor eksternal
a.       Berlangsungnya perang Salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang.
b.      Serangan pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Kahn berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu pengetahuan yaitu perpustakaan di Bagdad.









BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah merupakan masa gemilang kemajuan dunia Islam dalam aspek perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan andil dari pengaruh peradaban Yunani yang sempat masuk ke dunia Islam. Sehingga selanjutnya, beberapa tokoh dalam literatur sejarah menghiasai perkembangan pemikiran hingga di era modern. Bahkan, pada masa kejayaan tersebut orang-orang Barat menjadikan wilayah timur sebagai pusat perabadan untuk menggali ilmu pengetahuan.
Pada masa inilah Islam meraih kejayaanya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah.
Sebuah sistem yang teratur akan menghasilkan pencapaian tujuan yang maksimal, seperti kisah pendirian dinasti Abbasiyah. Mereka bisa mendirikan dinasti di dalam sebuah negara yang dikuasai suatu dinasti yang menomorduakan mereka. Selain itu dari sejarah kekuasaan dinasti Abbasiyah ini kita juga bisa mengambil manfaat yang bisa kita rasakan sampai saat ini, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan. Seharusnya kita yang hidup pada zaman modern bisa meneruskan perjuangan para ilmuwan zaman daulah Abbasiyah dahulu.